Malam Satu Suro merupakan salah satu momen penting dalam kalender Jawa yang sarat makna spiritual dan kearifan lokal. Di Pekon Ganjaran perayaan malam Satu Suro tidak hanya menjadi tradisi turun-temurun, tetapi juga bentuk syukur warga kepada Sang Pencipta serta penghormatan kepada para leluhur.
Tradisi yang Mengakar Kuat
Setiap tahun, Masyarakat Pekon Ganjaran menyelenggarakan syukuran bersama yang dikenal dengan istilah "tirakatan Suro". Kegiatan ini biasanya dimulai selepas maghrib dan berlangsung hingga tengah malam. Diadakan di balai desa atau di pelataran rumah tokoh adat, acara ini dihadiri oleh hampir seluruh warga dari berbagai usia.
Syukuran dimulai dengan pembacaan doa bersama yang dipimpin oleh sesepuh desa, dilanjutkan dengan pengajian atau kidungan Jawa berisi petuah moral. Tidak ketinggalan, sajian tumpeng, jenang abang-putih, dan aneka hasil bumi menjadi simbol rasa syukur atas berkah yang diterima selama setahun terakhir.
Makna Filosofis Malam Suro
Bagi masyarakat Pekon Ganjaran, malam Satu Suro bukan sekadar penanda pergantian tahun Jawa, melainkan waktu untuk introspeksi dan permohonan perlindungan. Filosofi "eling lan waspada" (ingat dan waspada) menjadi pesan utama dalam setiap peringatan Suro. Banyak warga juga memilih untuk tidak keluar rumah selepas tirakatan, sebagai wujud penghormatan terhadap aura sakral malam tersebut.
Pelestarian Budaya Lokal
Kepala Pekon Ganjaran, Bapak Suswanto, mengungkapkan bahwa pelestarian tradisi ini menjadi bagian dari upaya menjaga identitas budaya lokal. “Malam Suro adalah warisan budaya yang perlu dijaga bersama. Ini bukan hanya soal kepercayaan, tetapi juga perekat sosial warga desa,” ujarnya.
Pemerintah Pekon juga menggandeng pemuda karang taruna untuk ikut terlibat dalam persiapan dan dokumentasi acara, agar generasi muda tidak terputus dari akar budayanya.
Syukuran malam Satu Suro di Pekon Ganjaran menjadi bukti bahwa kearifan lokal masih hidup dan menyatu dalam keseharian masyarakat. Dalam suasana yang penuh kekhidmatan dan kebersamaan, warga desa tak hanya mengenang masa lalu, tetapi juga menata niat untuk masa depan yang lebih baik. Tradisi ini mengajarkan bahwa dalam setiap perubahan waktu, ada ruang untuk merenung, bersyukur, dan saling memperkuat sebagai satu komunitas.